Berita  

Tembelok: Antara Palu Hukum dan Hak Rakyat atas Kekayaan Alam

 

BuwanaNews Di Perairan Tembelok, Mentok, Bangka Barat, deburan ombak bukan hanya membawa riak air asin, tetapi juga riak kehidupan. Di balik kerangka hukum yang tegas dan pasal-pasal yang kaku, ada wajah-wajah manusia yang berjuang mempertahankan hidup. Para penambang, pedagang, nelayan, dan keluarga mereka terikat dalam satu simpul bernama ekonomi bertahan hidup.

 

Sejak beberapa hari terakhir, tambang laut Tembelok kembali hidup. Warung kopi ramai, pedagang kecil tersenyum lega, perahu nelayan yang dulu sepi kini kembali berlayar. Bagi masyarakat, tambang yang disebut ilegal ini adalah secercah harapan di tengah sulitnya ekonomi. Namun bagi pemerintah, tambang tanpa izin usaha pertambangan (IUP) adalah pelanggaran hukum yang harus ditindak.

 

Inilah kontradiksi besar kita: hukum menegaskan larangan, sementara realitas hidup menuntut kelonggaran. Penambang Tembelok hanyalah rakyat kecil yang mempertaruhkan nasib, bukan pemodal besar yang bermain di ruang abu-abu. Mereka butuh perlindungan hukum, bukan sekadar penertiban. Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai β€œpenjaga palu” yang menindak, tetapi juga sebagai β€œpenganyom” yang mencarikan jalan tengah antara hukum dan kesejahteraan.

 

Sesungguhnya rakyat adalah pemegang daulat atas kekayaan alam negeri ini. Sudah sepatutnya mereka ikut menikmati hak sebagai pemilik, bukan hanya menjadi penonton atau tersangka di tanahnya sendiri. Negara hadir untuk mengatur, bukan menggusur. Perusahaan hadir untuk membantu mengelola, bukan mengambil alih. Jika mandat pengelolaan diberikan kepada institusi resmi, mandat itu mestinya berjalan seiring dengan keberpihakan pada rakyatβ€”bukan justru menjauhkan rakyat dari sumber kehidupannya.

 

Kini pemerintah punya pilihan: menutup tambang berarti memutus mata pencaharian ribuan orang; membiarkan tambang liar berarti melemahkan wibawa hukum. Tapi ada opsi ketiga: merangkul, menata, dan melegalkan. Dengan alokasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), pembinaan, pengawasan, serta standar lingkungan dan keselamatan, negara dapat memastikan tambang berjalan tertib sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.

 

Opini ini bukan untuk pembenaran atas pelanggaran hukum, melainkan ajakan untuk melihat masalah secara manusiawi. Ada saatnya Hukum menjadi panglima, tetapi ada saatnya Hukum harus menjadi jembatan menuju keadilan sosial.

 

Tembelok adalah cermin dilema nasional: bagaimana menegakkan hukum tanpa memutus napas rakyat kecil. Jika pemerintah mampu membaca realitas ini, kebijakan yang lahir bukan hanya berupa larangan, tetapi juga peluang. Dan di situlah negara benar-benar hadir β€” bukan sekadar mengadili, tetapi juga memanusiakan.

 

 

Tentang Penulis:

Muhamad Zen

seorang jurnalis dan aktivis sosial Bangka Belitung.

 

Selain sebagai wartawan, Zen dikenal luas sebagai penggerak berbagai organisasi masyarakat.

Prinsipnya sederhana namun kuat: Masyarakat harus mendapatkan tempat yang adil dalam kebijakan publik dan pengelolaan sumber daya alam.

 

Tulisan ini adalah suara yang lahir dari nurani warga yang mencintai tanahnya. Tujuan tulisan ini bukan untuk menyalahkan apalagi melegalkan yang ilegal, tapi untuk mengajak kita semua untuk pulang kepada keberpihakan dan kepada kedaulatan rakyat itu sendiri.

 

 

_____________________

 

Catatan Redaksi:

 

Isi narasi opini ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas penyajian artikel ini, Anda dapat mengirimkan artikel atau berita sanggahan/koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sanggahan dapat dikirimkan melalui email atau nomor whatsapp Redaksi sebagaimana yang tertera pada box Redaksi.

Writer: Tim Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *