Berita  

“Kotak Kosong Menang: Kritik Sunyi Rakyat dan Krisis Demokrasi Partai Politik”

Oleh : Eddy Supriadi

BuwanaNews β€œKadang rakyat tidak berteriak, tapi sikapnya tegas: mereka mencoblos kosong.”

Fenomena kotak kosong menang dalam pemilihan kepala daerah bukanlah keanehan demokrasi, melainkan teguran kolektif rakyat kepada elite politik dan partai yang makin menjauh dari denyut aspirasi masyarakat. Ketika calon tunggal tumbang oleh pilihan kosong, itu bukan sekadar hasil teknis, tetapi protes konstitusional terhadap dominasi, kejumudan, dan arogansi kekuasaan lokal.

Sejarah telah mencatat peristiwa serupa: Makassar 2018,Kab.Bangka, Pangkalpinang 2024. Polanya samaβ€”rakyat disodori satu nama, lalu diberi harapan untuk memilih atau menolak. Dan mereka menolak.

Gagalnya Fungsi Seleksi Partai

Dalam sistem demokrasi, partai politik adalah gerbang utama rekrutmen pemimpin. Sayangnya, dalam banyak kasus, partai justru menjadi gerbang yang tertutup rapat bagi kader-kader alternatif. Proses pencalonan kepala daerah bukan lagi pertarungan ide dan gagasan, tapi negosiasi elektabilitas, loyalitas elite, atau kedekatan finansial.

Partai gagal melakukan uji publik. Yang tampil di kertas suara hanyalah figur yang kuat secara struktur, tapi lemah secara legitimasi.

Jika partai kembali mencalonkan kandidat yang sudah kalah dari kotak kosong, maka kita sedang menyaksikan absurditas politik: demokrasi yang menolak belajar, dan elite yang menolak kalah.

Dampak Yuridis dan Pemborosan Anggaran

Kemenangan kotak kosong memicu pilkada ulang, yang menelan anggaran miliaran rupiah dari APBD dan APBN. Padahal, kekalahan itu bisa dicegah jika partai membuka ruang kompetisi sehat sejak awal. Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 memang memberi ruang bagi calon tunggal, namun secara moral-politik, rakyat tidak bisa dipaksa mencintai satu-satunya pilihan.

Biaya pilkada ulang adalah ongkos dari keputusan sempit partai.

Demokrasi Bukan Sekadar Formil

Secara filosofis, demokrasi tidak sekadar memberi kertas suara, tapi menghadirkan pilihan bermakna. Saat rakyat lebih memilih “kosong” daripada calon yang ditawarkan, itu artinya demokrasi prosedural telah kehilangan ruh substantifnya. Kedaulatan rakyat justru tampak saat mereka menolak.

Ini bukan tentang apatisme, tapi tentang perlawanan diam.

Rekomendasi: Saatnya Evaluasi Sistem Pilkada Langsung

Dalam salah satu pidatonya, Presiden Prabowo sempat melempar gagasan penting: perlu dipikirkan kembali pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sebuah ide yang barangkali belum populer, namun patut dikaji secara serius di tengah mahalnya ongkos demokrasi langsung dan meningkatnya fragmentasi politik lokal.

Pilkada langsung telah membuka ruang partisipasi, tapi juga menyisakan celah besar bagi kooptasi, populisme, dan pemborosan.

Jika partai tetap gagal menjadi penyaring aspirasi rakyat, maka alternatif melalui DPRD bisa menjadi langkah transisional untuk menjaga efisiensi, akuntabilitas, dan kestabilan pemerintahan lokal, dengan syarat penguatan etika politik dan transparansi DPRD sebagai lembaga representatif.

Penutup: Jangan Abaikan Suara Kosong

Kotak kosong menang adalah sinyal keras bahwa rakyat tidak bisa ditipu dengan prosedur demokrasi yang semu. Jika partai tetap buta, maka kita akan kembali melihat panggung kosong yang disambut sorak kecewa.

Demokrasi lokal harus kembali ke semangatnya: memihak rakyat, bukan elite. Karena dalam demokrasi, kekuasaan sejati lahir bukan dari pencalonan, tapi dari kepercayaan.

Writer: Tim Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *