BuwanaNews Pilkada Kota Pangkalpinang 2024 mencatat satu peristiwa politik yang mengguncang: kolom kosong mengalahkan calon tunggal. Sebuah kemenangan sunyi rakyat terhadap dominasi politik yang menutup ruang demokrasi. Di balik peristiwa itu, nama Maulan Aklil alias Molen menjadi simbol dari arogansi kekuasaan yang akhirnya ditolak.
Sebagai petahana, Molen maju dengan memborong hampir seluruh partai politik. Tak memberi ruang lawan, ia tampil sebagai satu-satunya kandidat. Tetapi publik Pangkalpinang menolak tunduk. Mereka memilih kotak kosongβsebuah pilihan yang membawa makna: kami butuh pemimpin, bukan penguasa.
Namun yang membuat publik semakin kecewa adalah sikap Molen pascakekalahan. Tak ada kata maaf. Tak ada refleksi jujur. Yang muncul justru unggahan penuh percaya diri di media sosialβkarikatur dirinya dan istri di atas mobil dengan tulisan βkita akan lanjut tahun depan.β Disusul pamer kekayaan pribadi: kebun sawit, aset propertiβseolah ingin berkata, βSaya kalah, tapi saya tetap kaya.β
Di saat yang sama, calon wakilnya, dr. Masagus M. Hakim, justru menunjukkan sikap negarawan. Ia mengakui kekalahan dengan hati terbuka: βYa Allah, jika ini keputusan-Mu, aku terima dengan lapang dada.β Pendek, tulus, dan tanpa sandiwara.
Kini, enam bulan kemudian, Molen muncul kembali. Kali ini dengan narasi tobat, berbaju putih, bicara spiritual, dan menyebut kekalahannya sebagai βteguran Allah.β Namun publik tak mudah percaya. Apalagi kemunculannya bertepatan dengan deklarasi kelompok Molen Fans Club (MFC) yang mendesaknya maju kembali di Pilkada 2025.
Apakah ini benar refleksi pribadi, atau hanya strategi rebranding politik?
Rakyat wajar curiga. Ketika permintaan maaf baru muncul setelah suhu politik memanas, ketika narasi kerendahan hati datang bersamaan dengan manuver dukungan, publik melihat bukan pertobatan, tapi kalkulasi.
Demokrasi butuh kejujuran, bukan akting. Jika benar Molen telah berubah, buktikanlah dengan sikap, bukan hanya simbol. Jika benar ikhlas, permintaan maaf seharusnya datang dari hari pertama kekalahanβbukan menjelang kontestasi berikutnya.
Rakyat Pangkalpinang telah membuktikan bahwa mereka bukan massa yang bisa dibeli atau ditipu. Mereka sadar bahwa memilih bukan soal siapa yang paling kaya, paling punya partai, atau paling banyak baliho. Tapi siapa yang paling jujur dan layak dipercaya.
Pilkada 2025 akan menjadi panggung baru. Tapi masyarakat tak butuh drama. Mereka butuh pemimpin.

Tentang Penulis:
Muhamad Zen adalah warga Pangkalpinang yang awalnya cuma hobi ngopi, tapi lama-lama kebanyakan kafein dan jadi suka nulis. Kadang tulisannya bikin orang mikir keras, kadang bikin orang pengen banting HPβtergantung siapa yang baca dan sedang di pihak mana. Ia mengaku sebagai lulusan pertama (dan tampaknya satu-satunya) dari Universitas Gunung Maras, Fakultas Ilmu Politik Perkeliruanβjurusan yang tak terdaftar di Dikti, tapi sangat relevan dengan keadaan politik kita hari ini.
Zen lebih nyaman disebut keliru yang sadar, ketimbang lurus tapi tersesat di jalan yang terang benderang. Ia percaya bahwa dalam politik, yang namanya penyesalan itu memang datangnya di akhir. Kalau datang di awal, itu namanya bukan penyesalan… tapi pendaftaran.
Kalau tidak sedang menulis, biasanya dia sedang menyeruput kopi sambil berpura-pura sibuk membaca situasi politik, padahal lagi nyari sinyal buat upload status.
Catatan Redaksi :
ββββββββββββ
Isi narasi opini ini di luar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Berita Sanggahan dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.